Friday 14 August 2020

Teori Belajar Kognitif

Teori belajar kognitif memandang bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak.

Menurut teori kognitif, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak, terpisah-pisah, tapi melalui proses yang mengalir, bersambung dan menyeluruh ( Siregar & Hartini, 2010). Menurut psikologi kognitif, belajar dipandang sebagai usaha untuk mangerti sesuatu. Usaha itu dilakukan secara aktif oleh peserta didik. Keaktifan itu dapat berupa mencari pengalaman, mencari informasi, memecahkan masalah, mencermati lingkungan, mempratekkan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu. Para psikolog kognitif berkeyakinan bahwa pengetahuan yang dimiliki sebelumnya sangat menentukan keberhasilan mempelajari informasi/pengetahuan yang baru.

Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut. Memisah-misahkan atau  membagi-bagi situasi/materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecil-kecil dan mempelajarinya secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna. Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Dalam praktek pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam rumusan-rumusan seperti: “Tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh J. Piaget, Advance organizer oleh Ausubel, Pemahaman konsep oleh Bruner, Hirarkhi belajar oleh Gagne, Webteaching oleh Norman, dan sebagainya. Berikut akan diuraikan lebih rinci beberapa pandangan dari tokoh-tokoh tersebut:

1.    Jean Piaget (1896-1980)

Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Dengan makin bertambahnya umur seseorang, maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan, akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya. Piaget tidak melihat perkembangan kognitif sebagai sesuatu yang dapat didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa daya pikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif. Collin, dkk (2012) menggambarkan pemikiran Piaget sebagai berikut:


Menurut Piaget, proses belajar terdiri dari 3 tahap, yakni asimilasi, akomodasi dan equilibrasi (penyeimbangan). Asimilasi adalah proses pengintegrasian informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam siatuasi yang baru. Sedangkan equilibrasi adalah penyesuaian kesinambungan antara asimilasi dan akomodasi (Siregar dan Nara, 2010). Asimilasi dan akomodasi akan terjadi apabila seseorang mengalami konflik kognitif atau suatu ketidak seimbangan antara apa yang telah diketahui dengan apa yang dilihat atau dialaminya sekarang. Proses ini akan mempengaruhi strutur kognitif. Tanpa proses ekuilibrasi, perkembangan kognitif seseorang akan mengalami gangguan dan tidak teratur (disorganized).

Proses asimilasi dan akomodasi mempengaruhi struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif merupakan fungsi dari pengalaman, dan kedewasaan anak terjadi melalui tahap-tahap perkembangan tertentu. Menurut Piaget, proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan sesuai dengan umurnya. Pola dan tahap-tahap ini bersifat hirarkhis, artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan seseorang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya. Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif ini menjadi empat yaitu, tahap sensorimotor (umur 0-2 tahun), tahap praoperasional (umur 2-7/8 tahun), tahap operasional konkret, dan tahap operasional formal

 

2.    Jerome Bruner (1915-2016)

 

Jerome Bruner adalah seorang pengikut setia teori kognitif, khususnya dalam studi perkembangan fungsi kognitif. Ia menandai perkembangan kognitif manusia sebagai berikut:

a.    Perkembangan intelektual ditandai dengan adanya kemajuan dalam menanggapi rangsangan.

b.    Peningkatan pengetahuan tergantung pada perkembangan system penyimpanan informasi secara realis.

c.    Perkembangan intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada diri sendiri atau pada orang lain memalui kata-kata atau lambang tentang apa yang akan dilakukan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan pada diri sendiri.

d.    Interaksi secara sistematis antara pembimbing, guru atau orang tua dengan anak diperlukan bagi perkembangan kognitifnya.

e.    Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif, karena bahasa merupakan alat komunikasi antara manusia. Untuk memhami konsep-konsep yang ada diperlukan bahasa. Bahasa diperlukan untuk mengkomunikasikan suatu konsep kepada orang lain.

f.     Perkembangan kognitif ditandai dnegan kecakapan untuk mengemukakan beberapa alternatif secara simultan, memilih tindakan yang tepat, dapat memberikan prioritas yang berurutan dalam berbagai situasi.

Bruner mengembangkan toerinya yang disebut free discovery learning. Teori ini menjelaskan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, toeri, definisi, dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya. Peserta didik dibimbig secara induktif untuk mengetahui kebenaran umum.

Pendekatan Bruner terhadap belajar didasarkan pada dua asumsi (Dahar, 2008), asumsi pertama ialah perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interkatif. Bruner percaya bahwa orang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan tidak hanya terjadi pada lingkungan, tetapi juga dalam orang itu sendiri. Asumsi kedua ialah orang mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang disimpan sebelumnya.

Bruner menyatakan untuk menjamin keberhasilan belajar, guru hendaknya jangan menggunakan penyajian yang tidak sesuai dengan tingkat kognitif peserta didik. Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu; enactive, iconic, dan symbolic (Lestari, 2014).

a.    Tahap enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya.

b.    Tahap ikonik, seseorang memahami obyek-obyek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi).

c.    Tahap simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasangagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya. Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak sistem simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Meskipun begitu tidak berarti ia tidak lagi menggunakan sistem enaktif dan ikonik. Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran merupakan salah satu bukti masih diperlukannya sistem enaktif dan ikonik dalam proses belajar.

 

3.    David Ausubel (1918-2008)

David Paulus Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan yang memberi penekanan pada belajar bermakna dan juga terkenal dengan teori belajar bermaknanya. Struktur kognitif merupakan struktur organisasional yang ada dalam ingatan seseorang yang mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah ke dalam suatu unit konseptual. Teori kognitif banyak memusatkan perhatiannya pada konsepsi bahwa perolehan dan retensi pengetahuan baru merupakan fungsi dari struktur kognitif yang telah dimiliki peserta didik. Yang paling awal mengemukakan konsepsi ini adalah Ausubel. Menurut Ausubel, peserta didik akan belajar dengan baik jika isi pelajaran (instructional content) sebelumnya didefinisikan dan  kemudian dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada peserta didik (advance orginizer). Dengan demikian, mempengaruhi pengaturan kemajuan belajar peserta didik. Advance orginizer adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada peserta didik. Advance orginizer dapat memberikan tiga macam manfaat, yaitu menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi yang akan dipelajari, berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara yang sedang dipelajari dan yang akan dipelajari, dan dapat membantu peserta didik untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah. Untuk itu, pengetahuan guru terhadap isi pembelajaran harus sangat baik, dengan demikian ia akan mampu menemukan informasi yang sangat abstrak, umum dan inklusif yang mewadahi apa yang sedang diajarkan. Guru harus memiliki logika berpikir yang baik, agar dapat memilah materi pembelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat dan padat serta mengurutkan materi tersebut dalam struktur yang logis dan mudah dipahami (Siregar & Nara, 2010).

Ausubel mengklasifikasikan belajar dalam dua dimensi, yaitu: dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada peserta didik melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi tersebut pada struktur kognitif yang telah ada (Dahar, 2006). Informasi yang dikomunikasikan pada peserta didik dalam bentuk belajar penerimaa yang menyejikan informasi itu dalam bentuk final ataupun dalam bentuk belajar penemuan yang mengharuskan peserta didik untuk menemukan sendiri materi yang akan diajarkan. Dan pada tingkatan kedua, peserta didik mengaitkan informasi itu pada pengetahuan yang dimilikinya, hal inilah yang dinamakan dengan belajar bermakna.

 


No comments:

Post a Comment