Teori Belajar Kognitif
Teori belajar kognitif memandang bahwa tingkah laku seseorang
ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan
dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman
yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak.
Menurut teori kognitif, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri
seseorang melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan.
Proses ini tidak, terpisah-pisah, tapi melalui proses yang mengalir, bersambung
dan menyeluruh ( Siregar & Hartini, 2010). Menurut psikologi kognitif,
belajar dipandang sebagai usaha untuk mangerti sesuatu. Usaha itu dilakukan
secara aktif oleh peserta didik. Keaktifan itu dapat berupa mencari pengalaman,
mencari informasi, memecahkan masalah, mencermati lingkungan, mempratekkan
sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu. Para psikolog kognitif berkeyakinan
bahwa pengetahuan yang dimiliki sebelumnya sangat menentukan keberhasilan
mempelajari informasi/pengetahuan yang baru.
Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi
saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut. Memisah-misahkan
atau membagi-bagi situasi/materi
pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecil-kecil dan mempelajarinya secara
terpisah-pisah, akan kehilangan makna. Teori ini berpandangan bahwa belajar
merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan
informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktifitas
yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Proses belajar terjadi
antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya
dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran
seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Dalam
praktek pembelajaran, teori kognitif antara lain tampak dalam rumusan-rumusan
seperti: “Tahap-tahap perkembangan” yang dikemukakan oleh J. Piaget, Advance
organizer oleh Ausubel, Pemahaman konsep oleh Bruner, Hirarkhi belajar oleh
Gagne, Webteaching oleh Norman, dan sebagainya. Berikut akan diuraikan
lebih rinci beberapa pandangan dari tokoh-tokoh tersebut:
1.
Jean Piaget (1896-1980)
Menurut Piaget,
perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang
didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Dengan makin
bertambahnya umur seseorang, maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan
makin meningkat pula kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju
kedewasaan, akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan
menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif di dalam struktur
kognitifnya. Piaget tidak melihat perkembangan kognitif sebagai sesuatu yang
dapat didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa daya pikir atau
kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.
Collin, dkk (2012) menggambarkan pemikiran Piaget sebagai berikut:
Menurut
Piaget, proses belajar terdiri dari 3 tahap, yakni asimilasi, akomodasi dan
equilibrasi (penyeimbangan). Asimilasi adalah proses pengintegrasian informasi
baru ke struktur kognitif yang sudah ada. Akomodasi adalah proses penyesuaian
struktur kognitif ke dalam siatuasi yang baru. Sedangkan equilibrasi adalah
penyesuaian kesinambungan antara asimilasi dan akomodasi (Siregar dan Nara,
2010). Asimilasi dan akomodasi akan terjadi apabila seseorang mengalami konflik
kognitif atau suatu ketidak seimbangan antara apa yang telah diketahui dengan
apa yang dilihat atau dialaminya sekarang. Proses ini akan mempengaruhi strutur
kognitif. Tanpa proses ekuilibrasi, perkembangan kognitif seseorang akan
mengalami gangguan dan tidak teratur (disorganized).
Proses asimilasi
dan akomodasi mempengaruhi struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif
merupakan fungsi dari pengalaman, dan kedewasaan anak terjadi melalui
tahap-tahap perkembangan tertentu. Menurut Piaget, proses belajar seseorang
akan mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan sesuai dengan umurnya. Pola
dan tahap-tahap ini bersifat hirarkhis, artinya harus dilalui berdasarkan
urutan tertentu dan seseorang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar
tahap kognitifnya. Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif ini menjadi
empat yaitu, tahap sensorimotor (umur 0-2 tahun), tahap praoperasional (umur
2-7/8 tahun), tahap operasional konkret, dan tahap operasional formal
2.
Jerome Bruner (1915-2016)
Jerome Bruner
adalah seorang pengikut setia teori kognitif, khususnya dalam studi
perkembangan fungsi kognitif. Ia menandai perkembangan kognitif manusia sebagai
berikut:
a. Perkembangan intelektual ditandai dengan adanya kemajuan dalam
menanggapi rangsangan.
b. Peningkatan pengetahuan tergantung pada perkembangan system penyimpanan
informasi secara realis.
c. Perkembangan intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara
pada diri sendiri atau pada orang lain memalui kata-kata atau lambang tentang
apa yang akan dilakukan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan pada diri
sendiri.
d. Interaksi secara sistematis antara pembimbing, guru atau orang tua
dengan anak diperlukan bagi perkembangan kognitifnya.
e. Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif, karena bahasa merupakan
alat komunikasi antara manusia. Untuk memhami konsep-konsep yang ada diperlukan
bahasa. Bahasa diperlukan untuk mengkomunikasikan suatu konsep kepada orang
lain.
f. Perkembangan kognitif ditandai dnegan kecakapan untuk mengemukakan
beberapa alternatif secara simultan, memilih tindakan yang tepat, dapat
memberikan prioritas yang berurutan dalam berbagai situasi.
Bruner
mengembangkan toerinya yang disebut free discovery learning. Teori ini
menjelaskan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika
guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan suatu aturan
(termasuk konsep, toeri, definisi, dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang
yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya. Peserta didik
dibimbig secara induktif untuk mengetahui kebenaran umum.
Pendekatan
Bruner terhadap belajar didasarkan pada dua asumsi (Dahar, 2008), asumsi
pertama ialah perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interkatif. Bruner
percaya bahwa orang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif,
perubahan tidak hanya terjadi pada lingkungan, tetapi juga dalam orang itu
sendiri. Asumsi kedua ialah orang mengkonstruksi pengetahuannya dengan
menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang disimpan sebelumnya.
Bruner
menyatakan untuk menjamin keberhasilan belajar, guru hendaknya jangan
menggunakan penyajian yang tidak sesuai dengan tingkat kognitif peserta didik.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang
ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu; enactive, iconic, dan
symbolic (Lestari, 2014).
a. Tahap enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam
upayanya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Artinya, dalam memahami dunia
sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan,
sentuhan, pegangan, dan sebagainya.
b. Tahap ikonik, seseorang memahami obyek-obyek atau dunianya melalui
gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia
sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan
(komparasi).
c. Tahap simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau
gagasangagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam
berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui
simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya. Komunikasinya
dilakukan dengan menggunakan banyak sistem simbol. Semakin matang seseorang
dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Meskipun begitu
tidak berarti ia tidak lagi menggunakan sistem enaktif dan ikonik. Penggunaan
media dalam kegiatan pembelajaran merupakan salah satu bukti masih
diperlukannya sistem enaktif dan ikonik dalam proses belajar.
3.
David Ausubel (1918-2008)
David Paulus
Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan yang memberi penekanan pada
belajar bermakna dan juga terkenal dengan teori belajar bermaknanya. Struktur
kognitif merupakan struktur organisasional yang ada dalam ingatan seseorang
yang mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah ke dalam
suatu unit konseptual. Teori kognitif banyak memusatkan perhatiannya pada
konsepsi bahwa perolehan dan retensi pengetahuan baru merupakan fungsi dari
struktur kognitif yang telah dimiliki peserta didik. Yang paling awal
mengemukakan konsepsi ini adalah Ausubel. Menurut Ausubel, peserta didik akan
belajar dengan baik jika isi pelajaran (instructional content) sebelumnya
didefinisikan dan kemudian
dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada peserta didik (advance
orginizer). Dengan demikian, mempengaruhi pengaturan kemajuan belajar
peserta didik. Advance orginizer adalah konsep atau informasi umum yang
mewadahi semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada peserta didik. Advance
orginizer dapat memberikan tiga macam manfaat, yaitu menyediakan suatu
kerangka konseptual untuk materi yang akan dipelajari, berfungsi sebagai
jembatan yang menghubungkan antara yang sedang dipelajari dan yang akan
dipelajari, dan dapat membantu peserta didik untuk memahami bahan belajar
secara lebih mudah. Untuk itu, pengetahuan guru terhadap isi pembelajaran harus
sangat baik, dengan demikian ia akan mampu menemukan informasi yang sangat abstrak,
umum dan inklusif yang mewadahi apa yang sedang diajarkan. Guru harus memiliki
logika berpikir yang baik, agar dapat memilah materi pembelajaran,
merumuskannya dalam rumusan yang singkat dan padat serta mengurutkan materi
tersebut dalam struktur yang logis dan mudah dipahami (Siregar & Nara,
2010).
Ausubel
mengklasifikasikan belajar dalam dua dimensi, yaitu: dimensi pertama
berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada
peserta didik melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara
bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi tersebut pada struktur
kognitif yang telah ada (Dahar, 2006). Informasi yang dikomunikasikan pada
peserta didik dalam bentuk belajar penerimaa yang menyejikan informasi itu dalam
bentuk final ataupun dalam bentuk belajar penemuan yang mengharuskan peserta
didik untuk menemukan sendiri materi yang akan diajarkan. Dan pada tingkatan
kedua, peserta didik mengaitkan informasi itu pada pengetahuan yang
dimilikinya, hal inilah yang dinamakan dengan belajar bermakna.
0 Response to "Teori Belajar Kognitif"
Post a Comment